Rabu, 06 April 2011 By: ArtiHapsari

Muslimah Lemper

Saya mengenal istilah Lemper semasa kuliah. Lemper itu singkatan dari Lembut dan Perkasa. Lembut sebagaimana seharusnya wanita, berperangai indah dan tidak beringasan, tapi juga perkasa yang maknanya tidak manja, tidak lembek, dan tidak mendayu-dayu dalam perasaannya. Sebenarnya kedua kata tersebut bukanlah kata yang kontradiktiv, karena memang seyogyanya kedua kata tersebut dipasangkan dengan kata sambung “ dan” bukan “tapi”. Di dalam aktivitas kampus, seorang muslimah (dibaca akhwat) terkenal dengan sosok yang tahan banting . Tugas yang menumpuk, belum lagi praktek kuliah yang dipenuhi dengan tugas yang memerlukan tenaga dan keringat, ditambah lagi setumpuk tugas dakwah yang diembannya, menjadikan kebanyakan para akhwat menjadi manusia tangguh, dan siapapun yang telah terbukti tangguh, mereka berhak menyandang predikat Akhwat Lemper….


Jika kita menengok sosok bunda Khadijah, atau Aisyah ataupun sosok shohabiyah lainnya, maka sosok muslimah jaman sekarang masih jauh sekali dari sosok yang ideal. Bagaimana sosok khodijah yang bersahaja, keibuan, tegar, sosok pemimpin, kuat dalam agama masih jauh dari sosok kita sekarang. Bahkan Siti Aisyah yang terkenal dengan sebutan “Khumaera” alias kemerah merahan dan lembut itu ternyata juga pernah memimpin peperangan.


Muslimah jaman sekarang jika terkena panas atau hujan sedikit saja langsung heboh. Bagaimana mereka bisa disebut tangguh? Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa seorang muslimah yang reaktif kertika terkena panas atau gerimis kemudian langsung dijudge sebagai wanita yang manja. Tapi dari yang sedikit itu bisa kita kiaskan bahwa bagaimana seorang muslimah mampu menerjang hujan ketika panggilan dakwah itu datang, bagaimana seorang muslimah dapat tegar ketika banyaknya ujian yang melanda, bagaimana seorang muslimah itu mampu berdiri ketika kakinya berdarah? Bagaimana seorang musliman mampu menghapus tangis dalam kekecewaanya?


Muslimah bukanlah wonder women yang super dalam segalanya. Namun saya lebih sepakat jika muslimah berupaya selalu dapat belajar melakukan segalanya. Membuat kelebihan yang dimiliki menjadikan potensi untuk tetap tangguh, dan meminimalkan kelemahan karena sudut pandangnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi.


Barangkali stereotip seorang muslimah sekarang selalu disamakan dengan para artis protagonist sinetron yang selalu berada pada posisi yang lemah, selalu menangis dan menjadi korban penindasan. Pada dasarnya memang sinetron itu membodohkan kita.


Dalam kehidupan sehari hari kita, di sekeliling kita, sudah menstandarkan pekerjaan itu sesuai dengan gendernya. Mengantar teman, membetulkan perkakas rumah, mengangkat barang barang besar adalah pekerjaan lelaki, padahal sebenarnya semua bisa disiasati sebelum kita benar-benar menyatakan tidak mampu. Dengan stigma yang seperti itu, cenderung menjadikan muslimah menjadi wanita yang manja dengan alasan bahwa wanita adalah makhluk yang lemah dan penuh perasaan.


Alloh menganugerahi perasaan peka seorang wanita jauh lebih besar prosestasenya dari pria dibandingkan akal dan tenaga, tapi itu juga bukan alibi kita menjadi wanita yang menunggu pertolongan seorang lelaki ketika kita dalam kesusahan. Kita perlu melihat dari kawan-kawan kita yang feminis, tapi bukan untuk meneladaninya, hanya mengambil sisi perbedaan saja di tengah isu gender yang sampai sekarang terus menggema.


Kaum feminis adalah orang – orang yang mengajak wanita untuk menghilangkan penggunaan istilah perasaan dalam bertindak. Karena bagi kaum feminis, jika seorang wanita terlalu mengedepankan perasaan, maka wanita akan selalu menjadi budak di bawah ketiak laki-laki, yang hanya bisa meminta pertolongan dan belai kasih sayang dari laki-laki. Alloh menganugerahkan seorang wanita mempunyai persaan yang jauh lebih peka bukan tanpa sebab, karena wanita diilhami untuk menyayangi anak anak mereka dan berkasih sayang dengan kepekaan yang tinggi dengan sesama manausia. Tapi kita harus menggunakan kelebihan itu pada porsi yang proporsional, bukan untuk diletup-letupkan apalagi dihilangkan. Kita bisa menggunakan kelebihan tersebut sebagai kekuatan kita sebagai seorang muslimah, seperti pada posisi negosiasi, mengurus anak sembari berkarya, melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu, menjadi wanita yang fokus dalam satu hal tapi dapat melakukan beberapa hal yang lainnya tanpa terbengkalai, tekun dalam bekerja dan berumah tangga, dll


Akhwat fillah, dunia islam membutuhkan tenaga kita, banyak hal yang masih menjadi PR besar kaum muslim. Setiap hari kita baca, kita dengar di media, masalah ekonomi, politik, kebangsaan, koruspi, moral, akhlak dan banyak lagi. Akankah kita apatis dengan semua masalah di negeri ini? Bisakah kita tidur sedangkan di luar sana banyak orang yang membutuhkan tenaga kita? Akankah kita bisa berlibur dengan tenang di hari sabtu dan minggu padahal di luar sana banyak orang-orang yang membutuhkan ilmu kita? Apakah kita bisa bemanja manja karena alasan lelah?


Hanya muslimah tangguh dan berhati lembut saja yang mampu bertahan. Tidak ada kata lain selain kita memang harus menjadi sosok muslimah yang tahan banting. Menjadi muslimah yang lembut dan perkasa.

Mari belajar………….

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar anda, inspirasiku...