Belum menikah bagi seorang wanita merupakan momok tersendiri apalagi
jumlah wanita sekarang berkali lipat dari jumlah pria, sedangkan pria sekarang
menginginkan wanita yang berusia muda. Angka 27 bagi kebanyakan wanita single
merupakan angka yang menakutkan. Tapi sebenarnya bagiku angka menakutkan itu
adalah 29 tahun. Tulisanku hari ini mungkin sebagian kecil dari banyak wanita
seumuranku yang belum menikah.
Tak perlu kita mendikte Tuhan, tak perlu mencerca takdir, tak perlu
meragukan doa ibu ketika ruh ditiupkan ke dalam rahimnya. Alloh tidak mungkin
lupa menuliskan takdir hambaNya termasuk urusan jodoh. Semua akan ada waktunya.
Banyak yang mengatakan bahwa aku terlalu memilih jodoh, aku akui. Karena bagi
semua wanita di dunia, menikah itu hanya satu kali dan tidak mau menikah
seperti membeli kucing dalam karung. Lelaki itu akan menjadi iman duni dan
akherat, lelaki itu akan mengambil hak orang tua dalam pengurusan kita, maka
wajarlah jika kita memahami pernikahan sebagai sesuatu yang perlu dipikirkan
dengan matang. Tapi alasanku banyak memilih karena alasan klise seorang yang
tertarbiyah, bahwa sudut pandang seorang kader berbeda dengan orang tua.
Menilik banyak teman dan adek seperjuangan yang sudah mendahului menikah,
bagiku bukan hal yang membuatku iri. Aku berbahagia, karena pilihan untuk belum
mau menikah adalah pilihan hidup yang pasti akan ada konsekuensinya. Aku cuman
ingin menceritakan beberapa kisah teman dan adek adekku yang lebih dahulu
menemukan jodohnya. Ada yang bilang bahwa kita harus banyak kenalan supaya
banyak lelaki yang kenal dan suka. Lucunya, ada teman kuliah yang bahkan jika
aku sebutkan namanya, hampir semua teman lupa atau melupakan. Dia wanita yang
amat pendiam, jarang bicara, dan jarang bergaul. Aku mengenalnya karena dia
salah satu teman mentoringku dulu, jadi sering berinteraksi lebih. Ternyata
kudengar sekarang dia sudah punya dua anak. Sesuatu yang mnecengangkan buat
kami yang mendengarnya. Adapula teman kuliah yang terkenal sangat keibuan,
sangat dewasa, seorang yang tinggi intelektualnya, sampai sekarang belum
menikah. Bukan karena belum ada yang mau, karena memang belum ketemu jodohnya.
Jadi, faktor keluwesan pergaulan, bukanlah syarat mutlak antrian pertama ketemu
jodohnya.
Ada juga yang mengatakan bahwa menikah itu harus diupayakan, dicari, dijemput,
dan ikhtiar sebanyak banyaknya. Itu mutlak benar. Tapi bukan berarti bahwa
ketika kita belum mendapatkan jodoh sampai sekarang, kita justru disangka tidak
berusaha. Ada beberapa kisah teman yang sebenarnya menikah itu seperti mimpi,
belum terbayangkan, mungkin karena situasi dan kondisinya mendukung, maka
prosesnya cepat dan mudah. Teman kerjaku bisa menjadi cerita. Sebenarnya, temanku
yang pria sudah punya kekasih, begitu juga dengan rekan kerjaku yang perempuan,
Mereka berdua sudah punya kekasih satu sama lain, tapi kemudian terpincut cinta
lokasi. Akhirnya dalam masa kegalauan mereka, perusahaan akan mengeluarkan SK
tentang pelarangan menikah sesama karyawan sebelum bulan mei. Mau tidak mau
meraka secepatnya melakukan aksi. Memutuskan pacar mereka masing masing dan
segera menikah. Yang mendengar ceritanya saja terkaget kaget. Yah..itulah
jodoh. Adek kelasku yang lain juga begitu. Dia bercita cita menjadi dosen di
semarang, dan alhamdulillah dia mendapat beasiswa di Bandung. Baru satu bulan,
ternyata dia mendapat proposal menikah. Maju mundur dibuatnya. Tapi ternyata
kemudahan begitu saja datang dan hanya butuh total 4 bulan sampai dia menikah.
Kaget...ia pastinya. Saya yang menyertainya saja merasa bahwa proses itu cepat
sekali padahal cita citanya adalah kembali ke Semarang secepatnya. Tapi takdir
mengatakan lain. Itulah takdir. Tak bisa ditebak kapan datangnya.
Jadi, biarlah yang lain dengan kisahnya. Aku dengan kisahku sendiri. Alloh
Maha Tau yang terbaik untuk hambaNya. Dan memang Alloh sudah memberikan kisah
tersendiri kepadaku bahwa aku harus mengurus papa dan mama di rumah. Alloh
menuliskan bahwa di kala mama sakit, dan papa butuh support lebih, Alloh
menuliskan takdirnya bahwa aku harus fokus berbakti kepada mereka. Itu
indahnya.
Aku tak punya banyak kriteria dalam memilih pasangan. Hanya saja, bagiku
menikah itu bukan hanya mempersatukan dua pribadi, dua keluarga, dua karakter
yang berbeda...tapi juga menyatukan satu visi misi dalam makna pernikahan yang
jauh lebih panjang yaitu menjadi keluarga di syurga. Visi menikahku sama dengan
pasangan pada umunya seperti menjadi keuarga yang sakinah mawadah
warohmah, hanya saja ada yang ditambah
yaitu menjadikan keluarga sebagai pondasi kekuatan umat, tentunya menjadi
kelurga dakwah....... Untuk saya, pernikahan itu adalah menyatukan 2 potensi
dalam kerangka memberikan kebaikan yang lebih besar untuk da’wah dan umat.
Menikah tidak akan mematikan potensi, namun justru menjadikannya lebih terasah dan bersinar.
Menikah itu berat karena dia adalah ’ separuh dien’ kita, namun besar harapan agar dalam
menyempurnakan dien tersebut ada usaha dan kerjasama suami dan istri untuk
bersama-sama memperoleh kesempurnaan tersebut, tentunya dengan jalan da’wah.
Bukan hanya sekedar sholeh untuk dirinya, tapi sholeh sebagai pengayom umat.
Tidak perlu pacaran, tidak perlu banyak penyesuaian karakter. Saya yakin
Alloh akan menghadirkannya di saat yang tepat dan yang pasti direstui orang tua.
Jika orang tua tidak setuju, ya pasti ada yang lain yang Alloh hadirkan dan
direstui. Jika banyak yang mengatakan bahwa jodoh harus diperjuangkan walau
tidak direstui orang tua, tapi tidak bagiku. Menikah bagiku adalah menggantikan
posisi orang tua sebagai wali kita, jadi jodoh yang terbaik adalah yang orang
tua ridho, karena ada doa doa yang melantun di sana. Biarlah penantian ini
menjadi bagian indah dalam hidupku..karena aku amat yakin janji Nya takkan
pernah meleset..bahwa semua akan indah pada waktuNya...