Jumat, 31 Mei 2013 0 komentar By: ArtiHapsari

DI JALAN DAKWAH AKU (INSYA ALLAH AKAN) MENIKAH


   
Belum menikah bagi seorang wanita merupakan momok tersendiri apalagi jumlah wanita sekarang berkali lipat dari jumlah pria, sedangkan pria sekarang menginginkan wanita yang berusia muda. Angka 27 bagi kebanyakan wanita single merupakan angka yang menakutkan. Tapi sebenarnya bagiku angka menakutkan itu adalah 29 tahun. Tulisanku hari ini mungkin sebagian kecil dari banyak wanita seumuranku yang belum menikah.

Tak perlu kita mendikte Tuhan, tak perlu mencerca takdir, tak perlu meragukan doa ibu ketika ruh ditiupkan ke dalam rahimnya. Alloh tidak mungkin lupa menuliskan takdir hambaNya termasuk urusan jodoh. Semua akan ada waktunya. Banyak yang mengatakan bahwa aku terlalu memilih jodoh, aku akui. Karena bagi semua wanita di dunia, menikah itu hanya satu kali dan tidak mau menikah seperti membeli kucing dalam karung. Lelaki itu akan menjadi iman duni dan akherat, lelaki itu akan mengambil hak orang tua dalam pengurusan kita, maka wajarlah jika kita memahami pernikahan sebagai sesuatu yang perlu dipikirkan dengan matang. Tapi alasanku banyak memilih karena alasan klise seorang yang tertarbiyah, bahwa sudut pandang seorang kader berbeda dengan orang tua.

Menilik banyak teman dan adek seperjuangan yang sudah mendahului menikah, bagiku bukan hal yang membuatku iri. Aku berbahagia, karena pilihan untuk belum mau menikah adalah pilihan hidup yang pasti akan ada konsekuensinya. Aku cuman ingin menceritakan beberapa kisah teman dan adek adekku yang lebih dahulu menemukan jodohnya. Ada yang bilang bahwa kita harus banyak kenalan supaya banyak lelaki yang kenal dan suka. Lucunya, ada teman kuliah yang bahkan jika aku sebutkan namanya, hampir semua teman lupa atau melupakan. Dia wanita yang amat pendiam, jarang bicara, dan jarang bergaul. Aku mengenalnya karena dia salah satu teman mentoringku dulu, jadi sering berinteraksi lebih. Ternyata kudengar sekarang dia sudah punya dua anak. Sesuatu yang mnecengangkan buat kami yang mendengarnya. Adapula teman kuliah yang terkenal sangat keibuan, sangat dewasa, seorang yang tinggi intelektualnya, sampai sekarang belum menikah. Bukan karena belum ada yang mau, karena memang belum ketemu jodohnya. Jadi, faktor keluwesan pergaulan, bukanlah syarat mutlak antrian pertama ketemu jodohnya.

Ada juga yang mengatakan bahwa menikah itu harus diupayakan, dicari, dijemput, dan ikhtiar sebanyak banyaknya. Itu mutlak benar. Tapi bukan berarti bahwa ketika kita belum mendapatkan jodoh sampai sekarang, kita justru disangka tidak berusaha. Ada beberapa kisah teman yang sebenarnya menikah itu seperti mimpi, belum terbayangkan, mungkin karena situasi dan kondisinya mendukung, maka prosesnya cepat dan mudah. Teman kerjaku bisa menjadi cerita. Sebenarnya, temanku yang pria sudah punya kekasih, begitu juga dengan rekan kerjaku yang perempuan, Mereka berdua sudah punya kekasih satu sama lain, tapi kemudian terpincut cinta lokasi. Akhirnya dalam masa kegalauan mereka, perusahaan akan mengeluarkan SK tentang pelarangan menikah sesama karyawan sebelum bulan mei. Mau tidak mau meraka secepatnya melakukan aksi. Memutuskan pacar mereka masing masing dan segera menikah. Yang mendengar ceritanya saja terkaget kaget. Yah..itulah jodoh. Adek kelasku yang lain juga begitu. Dia bercita cita menjadi dosen di semarang, dan alhamdulillah dia mendapat beasiswa di Bandung. Baru satu bulan, ternyata dia mendapat proposal menikah. Maju mundur dibuatnya. Tapi ternyata kemudahan begitu saja datang dan hanya butuh total 4 bulan sampai dia menikah. Kaget...ia pastinya. Saya yang menyertainya saja merasa bahwa proses itu cepat sekali padahal cita citanya adalah kembali ke Semarang secepatnya. Tapi takdir mengatakan lain. Itulah takdir. Tak bisa ditebak kapan datangnya.

Jadi, biarlah yang lain dengan kisahnya. Aku dengan kisahku sendiri. Alloh Maha Tau yang terbaik untuk hambaNya. Dan memang Alloh sudah memberikan kisah tersendiri kepadaku bahwa aku harus mengurus papa dan mama di rumah. Alloh menuliskan bahwa di kala mama sakit, dan papa butuh support lebih, Alloh menuliskan takdirnya bahwa aku harus fokus berbakti kepada mereka. Itu indahnya.

Aku tak punya banyak kriteria dalam memilih pasangan. Hanya saja, bagiku menikah itu bukan hanya mempersatukan dua pribadi, dua keluarga, dua karakter yang berbeda...tapi juga menyatukan satu visi misi dalam makna pernikahan yang jauh lebih panjang yaitu menjadi keluarga di syurga. Visi menikahku sama dengan pasangan pada umunya seperti menjadi keuarga yang sakinah mawadah warohmah,  hanya saja ada yang ditambah yaitu menjadikan keluarga sebagai pondasi kekuatan umat, tentunya menjadi kelurga dakwah....... Untuk saya, pernikahan itu adalah menyatukan 2 potensi dalam kerangka memberikan kebaikan yang lebih besar untuk da’wah dan umat. Menikah tidak akan mematikan potensi, namun justru menjadikannya  lebih terasah dan bersinar.

Menikah itu berat karena dia adalah ’ separuh dien’  kita, namun besar harapan agar dalam menyempurnakan dien tersebut ada usaha dan kerjasama suami dan istri untuk bersama-sama memperoleh kesempurnaan tersebut, tentunya dengan jalan da’wah. Bukan hanya sekedar sholeh untuk dirinya, tapi sholeh sebagai pengayom umat.

Tidak perlu pacaran, tidak perlu banyak penyesuaian karakter. Saya yakin Alloh akan menghadirkannya di saat yang tepat dan yang pasti direstui orang tua. Jika orang tua tidak setuju, ya pasti ada yang lain yang Alloh hadirkan dan direstui. Jika banyak yang mengatakan bahwa jodoh harus diperjuangkan walau tidak direstui orang tua, tapi tidak bagiku. Menikah bagiku adalah menggantikan posisi orang tua sebagai wali kita, jadi jodoh yang terbaik adalah yang orang tua ridho, karena ada doa doa yang melantun di sana. Biarlah penantian ini menjadi bagian indah dalam hidupku..karena aku amat yakin janji Nya takkan pernah meleset..bahwa semua akan indah pada waktuNya...

Senin, 08 April 2013 0 komentar By: ArtiHapsari

Hidup yang Menghidupkan

   
Sering sekali kita berharap apa yang terjadi pada diri kita sekarang adalah pilihan kita. tapi terkadang juga banyak hal yang hadir dalam hidup kita di luar batas logika kita sebagai manusia. Karena memang sebagai manusia kita hanya menjalankan apa yang dinamakan skenario hidup dari Sang Pemilik Hidup. Sehingga menyikapi berbagai hal tersebut, kita hanya diberikan ruang untuk cukup sekedar ihsan prasangka terhadap ketentuan Alloh, karena tak ada sesuatupun yang hadir dalam hidup kita yang tanpa seizinNya.

Maka langkah pertama adalah berbaik sangka terlebih dahulu, tetap tersenyum dan tetap tegar.
Langkah selanjutnya adalah mengolah, mengotak atik, menganalisa dan bersegera merespon kejadian tersebut. Bukan reaktif, ataupun apatis. hal ini dapat mengasah kedewasaan kita sebagai manusia. karena ketegaran seseorang dapat dilihat para respon pertamanya menghadapi setiap kejadian. Jika kita berbaik sangka, maka kemudian yang hadir selanjutnya adalah seikap wise dan bijak.

Manusia hanya dapat merencanakan, menulis dan meraba masa depan, tapi sungguh dalam setiap langkah demi langkah kehidupannya, manusia akan menemui banyak pilihan yang seringkali membuat ragu perjalanan. Terkadang ingin mundur, memutar arah, ataupun diam. Semuanya adalah pilihan. Tapi bagi seorang mukmin, dia selalu berusaha mendekatkan pilihan hidupnya dengan pilihan pilihan Alloh, berusaha sedekat mungkin berharap Alloh ridho terhadap pilihan hidupnya.

Bagi seorang mukmin, tak ada sandaran dalam hidupnya selain Alloh. karena dia amat memahami bahwa kelak di yaumil qiyamah akan dibangkitkan sendiri mempertanggungjawabkan pilihan pilihan hidupnya sendiri, maka seorang mukmin takkan pernah takut sendirian dalam melangkah menjalani hidup, karena yakin hanya Allohlah satu satunya penolong di dunia dan di akherat. Baginya tak ada tangis pilu atau histeria ketika ujian melanda, tak ada keterbahakan atau euforia ketika kebahagiaan hadir, karena seorang mukmin sangat proporsiaonal memaknai hidup hanya sebatas roda yang dipergulirkan.

Tawa pasti ada batasnya, tangis juga pasti ada batasnya. Setiap pertemuan pastilah akan ada akhirnya, karena memang hidup pada dasarnya berjalan menuju ujung kehidupan. Maka tiap jeda iklan dalam hidup hanyalah sebuah fatamorgana yang takkan mempengaruhi visi kehidupan manusia paripurna, Dia selalu tenang dalam menyikapi tiap fase hidup yang mungkin tak selamanya senang, dan tak semuanya sedih.

Ya..itulah hidup dan kehidupan, yang memerlukan kejelian mata hati untuk mengarahkan perjalanannya. Semoga kita termasuk manusia manusia yang selalu diberikan keluasaan jiwa memaknai setiap kehendak Sang Kuasa dengan pilihan higup yang menghidupkan jiwa..
Kamis, 21 Februari 2013 0 komentar By: ArtiHapsari

Buruh : Habis Manis Sepah Dibuang


Masalah ketenagakerjaan masih menjadi masalah pelik di negeri ini. Baik tenaga kerja formal maupun informal belumlah mendapatkan perlindungan secara baik. Dari permasalahan perjanjian kerja, penghasilan, cuti, sampai  jaminan sosial tenaga kerja. Kebutuhan hidup serta situasi perekonomian Indonesia yang kurang mendukung menjadi alasan utama masyarakat kita mau bekerja kerja tanpa ada perjanjian di depan,dan akhirnya menyebabkan para pelaku usaha meremehkan hak hak tenaga kerja.
Pengusaha tidak pernah takut kehilangan tenaga kerja terutama di sektor buruh karena peluang mendapatkan tenaga kerja sangatlah luas, dan masih besarnya pengangguran. Pada Februari 2012 jumlah angkatan kerja berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu pengangguran terbuka mencapai 7,61 juta orang atau 6,32 persen (Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Firdaus Badrun). Hal ini amatlah mengenaskan jika tenaga kerja kita hanya dihargai murah seperti sapi perah. Tenaga kerja kita mau bekerja keras dengan segala resiko yang dihadapi meskipun tanpa jaminan dan hak kesehatan.
Hal inilah yang dialami oleh ibu saya, Maryati, kelahiran 27 Juli 1956. Penghargaan perusahaan kepadanya sebagai keryawan ternyata tidak sebanding dengan integritas dan loyalitasnya. Ibu saya memandang pekerjaan yang digelutinya setelah lebih dari 14 tahun di perusahaaan yang bergerak di bidang advertising adalah bentuk loyalnya kepada perusahaan yang telah mempercayainya, tanpa menyadari bahwa ada hak hak yang belum terpenuhi selama ini. Pengahasilan yang sampai akhir hayatnya tidak lebih dari 1,3 juta untuk pekerjaan selama 6 hari seminggu ternyata dirasa cukup karena suasana nyaman di perusahaan membuatnya terikat secara hati. Di saat perusahaan tersebut terkena dampak krisis moneter 1998, ibu saya juga termasuk karyawan yang berusaha tetap memperjuangkan nafas perusahaan dengan menjual sembako ke rumah rumah. Tapi ternyata kewajiban perusahaan untuk melakukan amanah perundangan terkait pelayanan kesehatan tidak pernah dilakukan. Karyawan tidak diikutkan jamsostek padahal perusahaan tersebut bergerak di bidang industri dengan tingkat paparan resiko besar dari bahan kimia (cat, sablon, dan sebagainya).
Pada bulan mei 2012, ibu kami divonis gagal ginjal kronis dan harus melakukan cuci darah. Yang paling membingungkan adalah pihak kantor ibu belum memberi bantuan kesehatan padahal penyakit tersebut membutuhkan biaya yang banyak. Tidak ada asuransi kesehatan atau jamsostek. Kami juga tidak terdaftar di jamkesmas, dan tidak pula dapat mengurus jamkesda karena cuci darah belum dikelola oleh daerah Kabupaten Tegal. Miris rasanya, ketika ibu kami seorang karyawan yang mempunyai loyalitas tinggi kepada perusahaan ternyata bernasib memprihatinkan. Habis Manis Sepah Dibuang.
Undang undang ketenagakerjaan hanya sebuah lembaran kertas tanpa nyali, karena di negeri ini masih banyak perusahaan yang “mbalelo” tidak mentaati perundangan tersebut. Dalam UU Nomer 13 tahun 2003 pasal 1999 dijelaskan bahwa setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
Kepada siapa kami mengadu? Akan berapa banyak lagi Maryati Maryati lain yang akan bernasib sama tanpa ada kepastian jaminan kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja dan kematian? Apakah nyawa seorang tenaga kerja tidak lebih berharga dari seekor sapi perah?