Senin, 11 April 2011 By: ArtiHapsari

DEGRADASI MAKNA JILBAB

Senang rasanya setiap hari melihat semakin banyak wanita muslimah yang berjilbab, berarti kesadaran para muslimah untuk menunaikan perintah Alloh semakin banyak. Tapi di sisi lain juga merasa trenyuh melihat semakin banyak muslimah berjilbab yang berperilaku tidak sebagaimana mestinya. Berarti pekerjaan rumah kita semakin bertambah, sesudah menyadarkan para muslimah untuk berhijab, kemudian dilanjutkan untuk melakukan penjagaan kepada mereka supaya tidak kembali pada kebiasaan jahiliah.

Pernah suatu hari saya dan teman-teman berjalan jalan ke mall di daerah Sukajadi Bandung. Kami berhenti sejenak di foodcourt untuk membeli minum, tapi ketika saya mau duduk, saya mendengar seorang wanita berjilbab sedang merokok dan mengatakan “ saya ga bisa puasa, hari pertama aja udah ga kuat”, kemudian kalimat itu ditertawakan oleh teman-temannya..Miris saya mendengarnya. Pernah juga mendengar cerita dari seorang kawan yang doyan melihat video asusila, dia mengatakan “Yang main, ceweknya masih pake jilbab lo…”dengan nada mencemooh kaum jilbaber, kata-katanya menusuk ulu hati. Tapi yang tak kalah malu ketika kemarin seorang teman saya yang beragama nonmuslim menunjukkan pada saya seorang wanita berjilbab yang merokok di sebuah pujasera, serasa hati tercabik-cabik. Malu. Hati kecil saya mengatakan “Kemana saja bu?sibuk?”

Dan juga sering kita lihat saudara, teman, dan tetangga kita yang sebenarnya berjilbab tapi jika hanya keluar rumah saja, sedangkan di dalam rumah meski ada nonmahrom, banyak yang tidak berhijab dengan alasan ribet. Atau juga mereka yang menemui tukang sayur ato tukang sampah hanya memakai daster padahal ia berhijab. Itu pernah ditanyakan seorang kawan kepada saya, dan saya hanya menjawab “meraka belum tahu, kita doakan saja” dengan tetap senyum dan tetap huznudzon.

Inilah realita kehidupan, ketika jilbab sudah tidak lagi dimaknai sebagai sebuah jati diri. Ia hanya sebuah simbol agama, bahkan banyak pengamat sosiolog mengatakan bahwa jilbab sekarang adalah budaya. Saya teringat cerita-cerita para muslimah yang berjilbab jaman era 80-an yang saat itu hanya bisa dihitung dengan jari. Mereka sangat kuat tekadnya untuk berhijab meskipun dilarang oleh orang tua. Tak sedikit di antara mereka yang memakai jilbabnya di tengah jalan selepas keluar dari rumah. Bahkan ada orang tua yang menarik jilbab anaknya di sekolah, sampai-sampai si anak menangis tersedu sedu dan mengambil taplak meja untuk menutupi kepalanya. Bahkan ketika saya mengambil keputusan untuk berhijab pun harus berdiskusi panjang dengan orang tua. Kebanyakan para orang tua tidak mengijinkan anak-anaknya karena alasan yang klise; takut tidak ada jodoh yang mendekat sampai alasan susah mencari pekerjaan. Tapi lambat laun prasangka-prasangka seperti itu sudah tidak lagi muncul, karena jaman sudah berubah, pekerjaan tidak lagi diukur dari penampilan, bahkan kebanyakan lelaki jaman sekarang justru mencari wanita yang berjilbab untuk diperistri. Dan sudah selayaknya kita beri penghormatan kepada para pendahulu kita yang telah memperjuangkan jilbab sehingga kita pada masa sekarang tidak lagi harus ketakutan ketika berjilbab seperti halnya saudara saudara kita di Eropa sekarang.

Namun juga perlu disadari, bahwa kemudahan itu bukan saja menjadi mudah dalam bermasyarakat, Kaum jilbaber mempunyai konsekuensi moral yang tinggai bahkan cenderung dianggap sebagai manusia yang antisalah. Tidak lucu jika seorang jilbaber itu merokok, pergi ke klab malam, berbuat mesum dengan lawan jenis yang bukan mahrom, bahkan melacur. Satu dua oknum bisa langsung menjatuhkan kredibilitas kaum jilbaber secara keseluruhan. Jadi tugas kita wahai para kaum jilbaber, kita harus menyadari betul bahwa ketika kita sudah memutuskan untuk mengambil hidayah Alloh untuk menutup aurat, maka sudut pandang kita bukan lagi “saya” secara individu, karena setiap perilaku yang kita lakukan akan membawa nama seluruh jilbaber. Maka tetaplah berhati-hati dengan perilaku kita.

Beberapa kawan ada juga yang mengatakan “Sebaiknya dijilbabi dahulu hatinya, baru perilakunya”..menurut saya, itu adalah statemen yang keliru. Karena sampai kapanpun manusia itu tidak akan pernah sempurna, karena manusia bukanlah malaikat. Hidup adalah proses pembelajaran, dimana ada case dalam hidup, di situlah manusia bisa salah, dan dari situlah manusia bisa belajar dan dewasa. Berjilbab itu proses, bukan kita menunggu sampai benar benar menjadi manusia yang bersih, karena berjilbab itu adalah sebuah upaya penjagaan dan jalan penyucian diri. Setiap manusia dihukumi sesuai dengan dosa-dosanya. Ketika ada seorang jilbaber yang berzina, maka dia dihukumi secara terpisah, karena zina dia berdosa, tidak ada kaitannya dengan jilbab. Bagi wanita yang tidak berhijab tapi perilakunya baik, maka dosanya dikenakan pada aspek tidak berhijabnya, dan tidak ada kaitannya dengan akhlaknya. Semua dihukumi secara adil proporsional.

Bahkan seorang wanita yang sudah menikah kemudian dia berzina, lalu kemudian dia mendapat hukuman rajam, maka hukuman rajam itu hanya untuk menghapus dosa zinanya di hadapan manusia, dan tidak menghapus dosanya di hadapan Alloh dan tidak menghapus pula dosa yang lain,misal tidak sholat, tidak puasa, ataupun durhaka pada orang tua, kecuali dia bertaubat.

Saya berusaha memberi sugesti posistif pada semua wanita muslimah bahwa berjilbab itu MUDAH. Dimana ada kemauan, pasti Alloh akan memberikan jalanNya. Ketika kita ingin menjauhi perilaku yang tidak baik, pasti Alloh akan memudahkan langkah Kita. Jangan berfikir buruk / paranoid terhadap konsekuensi berjilbab itu sendiri, karena itu justru akan membuat pikiran negarif dan ketakutan ketakutan yang menghantui.

Yakinlah para wanita muslimah, apapun kebaikan yang kita lakukan bisa menjadi inspirasi kebaikan bagi orang lain, dan jadilah wanita itu…

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar anda, inspirasiku...