Kamis, 21 Februari 2013 0 komentar By: ArtiHapsari

Buruh : Habis Manis Sepah Dibuang


Masalah ketenagakerjaan masih menjadi masalah pelik di negeri ini. Baik tenaga kerja formal maupun informal belumlah mendapatkan perlindungan secara baik. Dari permasalahan perjanjian kerja, penghasilan, cuti, sampai  jaminan sosial tenaga kerja. Kebutuhan hidup serta situasi perekonomian Indonesia yang kurang mendukung menjadi alasan utama masyarakat kita mau bekerja kerja tanpa ada perjanjian di depan,dan akhirnya menyebabkan para pelaku usaha meremehkan hak hak tenaga kerja.
Pengusaha tidak pernah takut kehilangan tenaga kerja terutama di sektor buruh karena peluang mendapatkan tenaga kerja sangatlah luas, dan masih besarnya pengangguran. Pada Februari 2012 jumlah angkatan kerja berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu pengangguran terbuka mencapai 7,61 juta orang atau 6,32 persen (Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Firdaus Badrun). Hal ini amatlah mengenaskan jika tenaga kerja kita hanya dihargai murah seperti sapi perah. Tenaga kerja kita mau bekerja keras dengan segala resiko yang dihadapi meskipun tanpa jaminan dan hak kesehatan.
Hal inilah yang dialami oleh ibu saya, Maryati, kelahiran 27 Juli 1956. Penghargaan perusahaan kepadanya sebagai keryawan ternyata tidak sebanding dengan integritas dan loyalitasnya. Ibu saya memandang pekerjaan yang digelutinya setelah lebih dari 14 tahun di perusahaaan yang bergerak di bidang advertising adalah bentuk loyalnya kepada perusahaan yang telah mempercayainya, tanpa menyadari bahwa ada hak hak yang belum terpenuhi selama ini. Pengahasilan yang sampai akhir hayatnya tidak lebih dari 1,3 juta untuk pekerjaan selama 6 hari seminggu ternyata dirasa cukup karena suasana nyaman di perusahaan membuatnya terikat secara hati. Di saat perusahaan tersebut terkena dampak krisis moneter 1998, ibu saya juga termasuk karyawan yang berusaha tetap memperjuangkan nafas perusahaan dengan menjual sembako ke rumah rumah. Tapi ternyata kewajiban perusahaan untuk melakukan amanah perundangan terkait pelayanan kesehatan tidak pernah dilakukan. Karyawan tidak diikutkan jamsostek padahal perusahaan tersebut bergerak di bidang industri dengan tingkat paparan resiko besar dari bahan kimia (cat, sablon, dan sebagainya).
Pada bulan mei 2012, ibu kami divonis gagal ginjal kronis dan harus melakukan cuci darah. Yang paling membingungkan adalah pihak kantor ibu belum memberi bantuan kesehatan padahal penyakit tersebut membutuhkan biaya yang banyak. Tidak ada asuransi kesehatan atau jamsostek. Kami juga tidak terdaftar di jamkesmas, dan tidak pula dapat mengurus jamkesda karena cuci darah belum dikelola oleh daerah Kabupaten Tegal. Miris rasanya, ketika ibu kami seorang karyawan yang mempunyai loyalitas tinggi kepada perusahaan ternyata bernasib memprihatinkan. Habis Manis Sepah Dibuang.
Undang undang ketenagakerjaan hanya sebuah lembaran kertas tanpa nyali, karena di negeri ini masih banyak perusahaan yang “mbalelo” tidak mentaati perundangan tersebut. Dalam UU Nomer 13 tahun 2003 pasal 1999 dijelaskan bahwa setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
Kepada siapa kami mengadu? Akan berapa banyak lagi Maryati Maryati lain yang akan bernasib sama tanpa ada kepastian jaminan kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja dan kematian? Apakah nyawa seorang tenaga kerja tidak lebih berharga dari seekor sapi perah?