Masalah
ketenagakerjaan masih menjadi masalah pelik di negeri ini. Baik tenaga kerja
formal maupun informal belumlah mendapatkan perlindungan secara baik. Dari
permasalahan perjanjian kerja, penghasilan, cuti, sampai jaminan sosial tenaga kerja. Kebutuhan hidup
serta situasi perekonomian Indonesia yang kurang mendukung menjadi alasan utama
masyarakat kita mau bekerja kerja tanpa ada perjanjian di depan,dan akhirnya
menyebabkan para pelaku usaha meremehkan hak hak tenaga kerja.
Pengusaha tidak
pernah takut kehilangan tenaga kerja terutama di sektor buruh karena peluang
mendapatkan tenaga kerja sangatlah luas, dan masih
besarnya pengangguran. Pada Februari 2012 jumlah angkatan kerja berjumlah
120,41 juta orang. Dari jumlah itu pengangguran terbuka mencapai 7,61 juta
orang atau 6,32 persen (Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pembinaan
Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans) Firdaus Badrun). Hal ini amatlah mengenaskan jika tenaga kerja
kita hanya dihargai murah seperti sapi perah. Tenaga kerja kita mau bekerja
keras dengan segala resiko yang dihadapi meskipun tanpa jaminan dan hak
kesehatan.
Hal
inilah yang dialami oleh ibu saya, Maryati, kelahiran 27 Juli 1956. Penghargaan
perusahaan kepadanya sebagai keryawan ternyata tidak sebanding dengan
integritas dan loyalitasnya. Ibu saya memandang pekerjaan yang digelutinya
setelah lebih dari 14 tahun di perusahaaan yang bergerak di
bidang advertising adalah bentuk loyalnya kepada perusahaan yang telah
mempercayainya, tanpa menyadari bahwa ada hak hak yang belum terpenuhi selama
ini. Pengahasilan yang sampai akhir hayatnya tidak lebih dari 1,3 juta untuk
pekerjaan selama 6 hari seminggu ternyata dirasa cukup karena suasana nyaman di
perusahaan membuatnya terikat secara hati. Di saat perusahaan tersebut terkena
dampak krisis moneter 1998, ibu saya juga termasuk karyawan yang berusaha tetap
memperjuangkan nafas perusahaan dengan menjual sembako ke rumah rumah. Tapi
ternyata kewajiban perusahaan untuk melakukan amanah perundangan
terkait pelayanan kesehatan tidak pernah dilakukan. Karyawan tidak diikutkan
jamsostek padahal perusahaan tersebut bergerak di bidang industri dengan
tingkat paparan resiko besar dari bahan kimia (cat, sablon, dan sebagainya).
Pada
bulan mei 2012, ibu kami divonis gagal ginjal kronis dan harus melakukan cuci
darah. Yang paling membingungkan adalah pihak kantor ibu belum memberi bantuan
kesehatan padahal penyakit tersebut membutuhkan biaya yang banyak. Tidak ada
asuransi kesehatan atau jamsostek. Kami juga tidak terdaftar di jamkesmas, dan
tidak pula dapat mengurus jamkesda karena cuci darah belum dikelola oleh daerah Kabupaten Tegal. Miris rasanya, ketika ibu kami seorang karyawan yang mempunyai
loyalitas tinggi kepada perusahaan ternyata bernasib memprihatinkan. Habis
Manis Sepah Dibuang.
Undang
undang ketenagakerjaan hanya sebuah lembaran kertas tanpa nyali, karena di
negeri ini masih banyak perusahaan yang “mbalelo” tidak mentaati perundangan
tersebut. Dalam UU Nomer 13 tahun 2003 pasal 1999
dijelaskan bahwa setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh
jaminan sosial tenaga kerja.
Kepada
siapa kami mengadu? Akan berapa banyak lagi Maryati Maryati lain yang akan
bernasib sama tanpa ada kepastian jaminan kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja
dan kematian? Apakah nyawa seorang tenaga kerja tidak lebih berharga dari
seekor sapi perah?