Senin, 31 Mei 2010 0 komentar By: ArtiHapsari

Hari-Hari Peringatan Lingkungan Hidup

10 Januari : Hari Lingkungan Hidup Indonesia / Hari Pencanangan Gerakan satu Juta Pohon
15 Januari : Hari Peringatan Laut dan Samudera Nasional
2 Februari: Hari Lahan Basah Sedunia (konvensi Ramsar)
6 Maret : Hari Konvensi CITES (perdagangan satwa liar)
20 Maret : Hari Kehutanan Dunia
21 Maret Pukul 10.00 – 14.00 : World Silent Day – (Masih merupakan gerakan moral dari berbagai LSM Lingkungan Hidup)
22 Maret : Hari Air Internasional (UN World Day for Water)
23 Maret: Hari Meteorologi
27Maret : (Pukul 8:30 pm waktu setempat)- Earth Hour
22 April : Hari Bumi / Earth Day / KTT Bumi
26 April : Hari Peringatan Tragedi Chernobyl 1999
April - Jumat terakhir : Hari Penanaman Pohon (Arbor Day)
3 Mei : Hari Burung Migratori Internasional (International Migratory Bird Day)
22 Mei Hari Keaneragaman Hayati (International Day for Biological Diversity atau World Biodiversity Day)
31 Mei : Hari Tanpa Asap Rokok Sedunia
Mei Jumat Ketiga : Hari Bersepeda Ke Kantor (Bike-to-Work Day)
5 Juni: Hari Lingkungan Hidup Sedunia (UN World Environment Day)
17 Juni : Hari Melawan Desertifikasi dan Kekeringan Dunia PBB (UN World Day to Combat Desertification and Drought)
23 Juni: Hari Konvensi Bonn
11 Juli : Hari Populasi Dunia PBB (UN World Population Day)
16 September : Hari Ozon Internasional (International Day for the Preservation of the Ozone Layer)
20 September : Hari Emisi Nol (Zero Emissions Day)
22 September Hari Bebas Mobil (Car Free Day)
6 Okteber : Hari Habitat Dunia
5 November : Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
6 November : Hari Peringatan Sedunia untuk Mencegah Eksploitasi Lingkungan dalam Perang dan Konflik Bersenjata (International Day for Preventing the Exploitation of the Environment in War and Armed Conflict)
16 November : Hari Konferensi Warisan Dunia
21 November : Hari Pohon
2 Desember: Hari Konvensi Ikan Paus
11 Desember Hari Gunung Sedunia (International Mountain Day)
15 December: Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
29 December: Hari Keanekaragaman Hayati
Kamis, 27 Mei 2010 0 komentar By: ArtiHapsari

Pantaskah Ibadah kita Ditukar dengan Surga??

Yuk kita bareng-bareng menulusuri ibadah kita, yang jarang kita muhasabahi, jarang kita renungkan bahwa ibadah kita sebenarnya jika ingin ditukarkan dengan surga sepertinya kita seharusnya menangis, karena sungguh ibadah kia jauh dari yang disunnahkan Rosul. Jika Rosul yang sudah dijamin masuk surge saja senantiasa melaksanakan ibadah tanpa putus, sedangkan kita yang tidak ada jaminan sedikitpun masih santai-santai saja dengan kuantitas ibadah kita, apalagi kualitasnya…


Sholat 5 waktu saja jarang sekali berjamaah, mendengar adzan subuh saja masih ogah-ogahan untuk bangun, shubuhnya menjelang waktu matahari terbit, bahkan terkadang juga kesiangan. apalagi untuk qiyamullail,Hufff…
Jika pun kita sempet qiyamullail juga hanya dua rokaat, itupun sambil terkantuk-kantuk. Cuma untuk menggugurkan target qiyamullail saja, ayat yang dipilih juga pendek-pendek.
Sholat dhuha cuma dua rakaat, itupun lari-lari soalnya banyak kerjaan..
Setelah sholat wajib, lupa berdoa langsung aja berdiri, tanpa istighfar dan memuji Alloh, dan terlipatlah sajadah yang sebenarnya hanya sebentar saja tergelar. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Baca Qur’an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.
Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?
Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.
Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?
Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?
Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?
Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.
Yuk kita memuhasabahi diri kita, menangislah karena ibadah kita masih jauh dari ahli ibadah, jika kita tak bisa menangis, maka menangislah karena kita tak bisa menangis…
Renungan menjelang bulan Rajab…
Rabu, 26 Mei 2010 0 komentar By: ArtiHapsari

LEBIH DEKAT MANA ANTARA ALQUR`AN DAN HANDPONE???

Zaman modern seperti sekarang sudah tidak aneh jika mempunyai Handphone (HP) lebih dari satu. Dua, bahkan empat sekalipun dibawa oleh kita bukanlah hal yang aneh. Alat elektronik tersebut sudah tidak lagi dianggap sebagai barang mewah,tapi sebuah sebuah kebutuhan. Fiture yang bukan hanya sekedar untuk sms dan telepon menjadi marak apalagi kedatangan barang dari China yang harganya sangat murah.
Di sela-sela waktu, sambil menunggu, atau jika sedang tidak melakukan aktivitas, kita seringkali mengeluarkan handphone walaupun hanya sekedar membuka picture, mendengarkan lagu, orang bilang supaya tidak bĂȘte atau mati gaya.

Tapi kita amat miris ketika ada pertanyaan yang menohok “Sedekat apakah kita dengan HP? Apakah lebih dekat dari Al Qur`an?”. Mungkin hampir kebanyakan orang akan menjawab jujur bahwa kita lebih dekat dengan HP. Apa indikatornya? Kita lebih sering bingung jika kita tidak melihat HP kita seharian dari pada membaca Al Qur`an seharian. Kita pasti akan memperhatikan isi tas kita dipastikan ada HP di dalamnya, dan kemungkinan akan berbalik rumah lagi jika HP kita tertinggal.
Tidak salah sebenarnya jika kita merasa seperti itu, karena memang HP saat ini adalah kebutuhan pokok bagi kebanyakan orang yang sibuk dan mobile. Kita takut HP kita tertinggal karena mungkin kita sedang berada pada posisi penting di kantor, sedang banyak membutuhkan hubungan dengan rekan lewat HP dan sebagainya.
Yang menjadi persoalan adalah jika kita merasa bahwa lebih baik tidak membaca Al Qur`an seharian daripada kita tidak membuka HP. Sangat ironis jika seorang muslim telah merasakan sampai seperti itu. Al Qur`an jarang sekali disentuh,bahkan MP3 di dalam HP pun terkadang lupa untuk diselipkan murotal skedar untuk kita dengarkan dalam perjalanan.
Rosululloh mengingatkan kita dalam haditsnya: “Orang yang dalam dadanya tidak ada sedikit pun dari Alquran, ibarat rumah yang bobrok.” (HR. At-Tirmidzi)
Jika seorang muslim dekat dengan Al-Quran, maka hati kita akan memperoleh kesegaran. Hati kita ini sebenarnya mirip dengan tanaman. Ia bisa segar, layu, dan kering. Karena itu, hati butuh sesuatu yang bisa menyuburkan: siraman air yang menyejukkan, kehangatan matahari yang menguatkan, dan tanah gembur yang banyak makanan.
Maka jangan sampai kita sebagai seorang muslim jauh dari Al Qur`an…
Seorang yang di dalam hatinya adanya ada Al Qur`an akan selalu menempatkan Al Qur`an di dalam hatinya. Bahkan dalam setiap alat elektronik modern yang dibawanya juga tidak luput dari jlan untuk semakin mencintaiNya, termasuk HP, dia jadikana sebagai sarana untuk semakin mencintai Alloh. .HP nya berisi pesan atau tulisan yang indah, MP3 nya tidak lupa diisi dengan murottal untuk didengarkan di perjalanan, jika ada waktu luang, lebih menyukai membaca nasehat / al qur`an lewat HP (jika ada) bukan hanya sekedar chatingan atau facebookan, dan di dalamnya tidak ada gambar atau video yang tidak bermoral. Itulah seorang muslim, yang menggunakan HP nya juga untuk kemanfaatan dalam waktunya…
Maka selanjutnya pertanyaan untuk kita semua yang bisa dijadikan perenungan : Sudahkan kita menutup hari kita dengan membaca dan mentadaburi Al Qur`an? Apakah hati kita lebih merasa lebih baik tidak membaca Al Qu`an seharian dari pada tidak melihat HP seharian??
Yuk mari kita benahi hati-hati kita untuk senantiasa proporsional dalam memnfaatkan teknologi yang ada dengan prsi yang tepat. Tidak berlebihan…
Selasa, 25 Mei 2010 0 komentar By: ArtiHapsari

The Silent Power Of The Women

Bukan bermaksud keluar dari garis "kefeminisan" saya hehe... hanya ketika menemukan artikel ini... manambah kebanggaan saya pada para wanita dengan segala pilihan hidupnya.. baik mereka yang merambah (menambah kemanfaatannya) dengan merambah pada public domain atau yang memilih focus pada domestic domain... tak ada yang perlu dicela (asal niatnya lurus aja)... yang membuat saya mengutip Mario Teguh
"Wanita... Super Sekali"


Bagi opposite gender yang membaca ini (para pria) so.. be a better partner.. di ranah manapun qta berdampingan

Selamat menikmati
(oya.. satu hal lagi. penggarapan aspek keperempuanan msh jadi PR qta... apa nunggu saya jadi Meteri Peranan Wanita.. wah kelamaan.. )
-hanum-



The Silent Power Of The Women


oleh Santi Soekanto *)

Jilbab biru tuanya lebar menjuntai. Bu Nunung menyeka dahinya, hidungnya, yang basah oleh keringat diterpa terik matahari Pantai Lho’nga, 10 kilometer dari Banda Aceh. Suaranya serak sehabis berteriak-teriak mengajar di TK darurat, yang didirikan Pesantren Hidayatullah untuk anak-anak pengungsi korban tsunami Desember lalu. Sekolah bubar bukan berarti waktu istirahat; ia hanya duduk sejenak, lalu sibuk lagi mengurus anak-anak pengungsi yang keleleran di antara tenda-tenda.

Sejak Subuh, Bu Nunung sibuk bekerja di dapur, dibantu beberapa santri putri; padahal tadi malam ia baru tidur saat sudah sangat larut. Itu karena ia harus menemui tamu-tamu yang datang hampir tak berhenti. Tambahan lagi, si Bungsu rewel karena dikerubuti nyamuk yang nekat menerobos asap anti-nyamuk di dalam rumah kayu sederhana yang ditinggalinya.

Kami mengobrol tentang suka-duka mendatangi daerah-daerah asing untuk mendirikan pesantren baru. Tentang hamil tua dan harus melahirkan tanpa didampingi suami yang sibuk dengan kerja dakwah. Tentang perdarahan dan kehilangan si Kecil lahir tanpa nyawa di rumah sakit, setelah bertahun-tahun dinanti kehadirannya. Bu Nunung berbicara dengan nada biasa; tidak melodramatis, tidak emosional. Yang terpancar adalah kesabaran dan penerimaan.


Saya lalu teringat kepada pondok-pondok kayu dan rumah-rumah sederhana para ustadz dan pejuang dakwah sejumlah harakah yang pernah saya kunjungi, mulai dari Jakarta, Solo hingga Balikpapan. Saya teringat akan para penyelenggara rumah-rumah sederhana itu yang banyak berkorban agar para suami tenang berdakwah. Saya ingat seorang ibu yang payah duduk atau berdiri karena kandungannya yang ke sekian kali semakin berat, yang wajahnya teduh disinari keikhlasan. Waktu saya tanya, mengapa repot-repot berkorban begitu besar, ia balik bertanya, "Pengorbanan apa?"

Kalau saja para suami mereka, para ustadz itu, memilih untuk mengajar Iqra’ anak-anak orang kaya di Jakarta, para istri itu akan bisa hidup lebih enak, begitu gurau saya.

Bu Nunung tersenyum. Lalu dengan nada suara datar, ia mengutip sebuah hadits tentang seorang perempuan di masa Nabiyallah, Asma binti Yazid Radhiallaahu ‘anha, yang mempertanyakan mengapa mudah sekali bagi laki-laki bergerak di public domain, termasuk pergi berperang, berjihad, sementara kaum perempuan tinggal di ranah domestik menyelenggarakan keperluan sang Mujahid dan membesarkan anak-anaknya. "Adakah kemungkinan bagi kami untuk menyamai para lelaki dalam kebaikan, wahai Rasulullah?" tanya Asma.

Rasulullah SAW menjawab, "Pergilah kepada perempuan mana saja dan beritahukan bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian (kaum perempuan) dalam memperlakukan suaminya, mencari keridhaan suaminya adalah mengalahkan semua itu…"(HR al-Baihaqi)

Tulisan ini tidak dibuat untuk sekedar memancing kejengkelan pendukung feminisme yang "hare geneeeeeee.." masih memprotes ketidakadilan pembagian kerja seksual.

Tulisan ini juga tidak dibuat untuk mematahkan semangat mereka yang berkampanye memberdayakan perempuan Indonesia dengan cara, diantaranya, menuntut 30 persen kursi di parlemen dan sejumlah pos di kabinet.

Tulisan ini dibuat untuk mengapreasiasi the silent power of the women yang saya temui di banyak tempat, baik dari kalangan Hidayatullah, Tarbiyah, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh dan banyak lagi.

Perjalanan-perjalanan tugas jurnalistik ataupun kemanusiaan ke daerah-daerah bencana atau konflik seperti Poso, Ternate dan Aceh mengajari saya bahwa penggambaran perempuan sebagai korban paling utama konflik dan bencana tidaklah sepenuhnya tepat.

Memang benar ribuan Muslimah terbunuh di Ambon, Ternate, Aceh dan Poso. Memang benar banyak diantara mereka, entah berapa jumlahnya, diperkosa dan disiksa di Aceh.

Beberapa Muslimah hamil di Poso dan Ambon dibongkar rahimnya oleh musuh. Kalau menurut deskripsi lembaga-lembaga kemanusiaan dunia mereka dan anak-anak mereka adalah the most vulnerable groups—kelompok yang paling rentan dan paling terlunta-lunta—dalam suasana serba kekurangan dan penuh ancaman pelecehan di tempat-tempat pengungsian.

Tetapi siapakah yang lebih kuat daripada seorang wanita yang menyaksikan mayat-mayat tercecer di saat terburuk konflik antaragama di Poso, lalu melepaskan anak laki-lakinya yang baru berumur 16 tahun menghadang bahaya dengan mengangkat senjata demi melindungi kampung mereka?

Women are the silent heroes in emergencies and conflicts. Wanita adalah pahlawan tanpa tanda jasa di tengah-tengah bencana dan konflik yang mencabik-cabik masyarakat, demikian Carol Bellamy, mantan direktur eksekutif Badan Dana Dunia untuk Anak (UNICEF), dalam sebuah panel diskusi di Markas Besar PBB di New York Juni tahun lalu.

Berjudul Emergencies Impacting on Women--Women Impacting on Emergencies, panel tersebut menghadirkan para pengambil kebijakan berbagai program kemanusiaan tingkat dunia serta para aktivis kemanusiaan yang bekerja di daerah-daerah konflik seperti Sierra Leone.

Semua pembicara sepakat, perempuan adalah korban utama peperangan dan konflik bersenjata. Namun, pada saat yang sama, merekalah yang paling sigap mengambil alih peran sebagai pendidik, penjaga kesehatan anak-anak dan keluarga, dan membangun kembali kehidupan sosial mereka.

Kalau ingin memastikan anak-anak korban bencana atau konflik bisa tetap makan, maka berikan bantuan kepada kaum ibu, ujar seorang pejabat PBB. "Women are the basic social fabric that holds families together."

Siapakah yang lebih kuat daripada daripada seorang perempuan yang dilarang bersekolah oleh ayah dan abang-abangnya di Medan, memilih berdagang pisang goreng demi membayar sendiri SPP-nya? Lalu, sesudah menjadi wanita yang matang, ia memilih tidak berkarir dan seratus persen mengabdikan tenaganya untuk mendidik anak-anaknya?

Siapakah yang lebih kuat daripada seorang perempuan yang hanya membisikkan "Allah, Allah," yang tidak mau meraung kesakitan atau berkeluh-kesah, saat menyabung nyawa melahirkan bayinya? Apakah ada lelaki yang akan mau merasakan sakit yang setara dengan sakitnya melahirkan tanpa berteriak-teriak? Siapa yang lebih kuat menjalani kehidupan berat dan kekurangan demi menemani suami berdakwah sementara kesempatan-kesempatan untuk meraih berbagai kenyamanan dunia—termasuk kesempatan shopping di mall—terpampang di depan mata?

Salah satu ketidakadilan yang mengancam kehidupan dunia saat ini adalah pemaksaan agenda-agenda negara maju terhadap negara-negara miskin—yang notabene banyak sekali didiami kaum Muslimin.

Mulai dari agenda perlindungan lingkungan—yang sebenarnya lebih merupakan gara-gara yang disebabkan oleh negara-negara industri—sampai agenda yang berjudul demokratisasi dan perlindungan hak asasi manusia. Negara-negara berkembang seperti Indonesia hanya bisa mengamini ketika negara-negara maju di Utara mencanangkan semua rencana mereka.

Salah satu agenda utama negara maju, yang kemudian diadopsi menjadi "agenda dunia", adalah empowerment of women atau pemberdayaan perempuan.

Dengan packaging alias kemasan yang indah, banyak negara berkembang maupun kelompok perempuan yang lalu melaksanakan crusade untuk memberlakukannya.

Dibutuhkan hanya waktu sepuluh tahun bagi tokoh-tokoh feminis radikal di Barat untuk mematahkan perlawanan kelompok-kelompok dan negara-negara Muslim terhadap agenda mereka yang dicanangkan di Konferensi Dunia tentang Wanita di Beijing, September 1995.

Berbagai keberatan terhadap dokumen Platform for Action yang pernah dinyatakan oleh negara-negara Islam—karena dokumen tersebut menyamakan pemberdayaan perempuan dengan kebebasan, misalnya, menjadi homoseksual—ketika itu sempat dicatat dan dimasukkan dalam brackets (tanda kurung). Pebruari-Maret lalu di Markas Besar PBB di New York, dalam konferensi yang dikenal sebagai Beijing Plus Ten, semua keberatan itu sudah dihapuskan.

Namun, apakah empowerment namanya kalau menyuruh seorang perempuan—yang nilai Kimia dan Bahasa Inggrisnya 10 dari sebuah SMA bergengsi di Jakarta, dan kini senang menghabiskan waktu merawat anak-anaknya—untuk keluar dari ranah domestik lalu masuk ke public domain dengan alasan "sayang potensinya"?

Apakah empowerment namanya memompakan rasa bersalah terhadap ibu-ibu yang memilih bekerja di rumah dengan alasan mereka kurang "mengaktualisasi potensi diri”?

To empower is to give power to the powerless, memberdayakan adalah memberikan daya kepada mereka yang tidak berdaya.

Women who by their own freewill choose to remain at home and support their husbands, are already powerful. Perempuan-perempuan yang karena berbagai alasan memilih tetap berada di rumah untuk mendukung kerja suami mereka dan mencari ridha Allah, mereka sudah berdaya.

Perempuan-perempuan yang berada di ranah publik karena berbagai alasan—baik karena ingin mengaktualisasi diri maupun karena, misalnya, takut dianggap kuno—perlu belajar dari mereka.

*). Penulis adalah wartawan dan ibu dari dua anak. Dimuat di www.Hidayatullah.com