Rabu, 07 April 2010 By: ArtiHapsari

Ruhul Istijabah

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah kalau sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepadaNyalah kamu akan dikumpulkan “ (QS Al Anfak : 24)

Setiap mukmin memahami bahwa hakikat kehidupan adalah mencari kemuliyaan hidup di sisi Alloh. Kita akan senantiasa berjalan dan berlari menempuh jalan kebahagiaan abadi di sisiNya. Dan adakah jalan yang lebih mulia dari pada jalan yang dipilih Rosul dan para sahabatnya yang dapat membawa kita kepada kehidupan abadi dan puncak kebahagiaan selain dakwah Rosul dan beliau katakan sebagai jalan pengikutnya?


”Katakanlah , ”Inilah jalan(agamaku), aku dan dan orang-orang yang mengikuti mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata. Maha suci Alloh, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf : 108)

Setiap mukmin juga menghayati bahwa kematian itu datangnya cuma satu kali dan pasti datang, maka ia akan memilih seni kematian yang indah dan mulia di sisi Alloh. Dan adakah kematian yang lebih mulia dan sangat dirindukan oleh hanba-hamba yang beriman selain mati dalam jihad fi sabilillah? Allohumma laa

Dakwah dan jihad adalah dua kata yang saling berkaitan dan seyogyanya terpatri dalam jiwa muslim yang menghendaki kehidupan mulia di sisi Alloh, oleh karenanya kita harus senantiasa menancapkan azzam untuk beruapaya istiqomah dalam aktivitas dakwah ini, karena itulah jalan untuk mencapai kemuliaan di hadapan Alloh.

Tidak ada yang telah membuat usia para sahabat, para ulama seperti Abu Bakar, Ali, Utsman, Umar, Saad, Abu Hanifah, dan sebagainya selain dakwah dan jihad fi sabilillah yang mereka geluti, seolah-olah usia mereka tidak lekang oleh zaman dan selalu terukir indah dalam sejarah. Kehidupan mereka menjadi amat berarti karena mereka sigap menyambut seruan Alloh dan RosulNya. Para sahabat dan para ulama mempunyai ruhul istijabah yang sangat luar biasa dan menghantarkan mereka pada puncak keimanan dan kebahagiaan.

Namun perlu kita cermati, datangnya ruhul istijabah itu merupakan buah dari keimanan dan kecintaan kepada Alloh, sang pemberi kebahagiaan, dan bukanlah datang dengan tiba-tiba. Kesigapan itu hadir dari kekuatan maknawinah , dari hati yang tidak lalai dari taufik dan ri`ayahNya. Maka kita patut untuk mengevaluasi diri kita, sudahkah kita menghadirkan diri ini untuk senantiasa memahami hakikat kehidupan abadi di akherat sehingga kita berhak untuk mendapatkan riayah rabbaniyah yang membuat ruhul istijabah menjadi karakter dalam diri kita?. Seberapa kuatkan ruhul istijabah ini mewarnai diri, lisan, akhlak dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam dakwah dan jihad menjadi kecil di mata kita? Lalu apakah dalam menterjemahkan ruhul istijabah itu kita termasuk orang yang menimbang-nimbang amal kebaikan?

”Apakah (orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus masjidil Haram ,kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Alloh dan hari kemudian serta berjihad di jalan Alloh? Mereka tidak sama di sisi Alloh dan Alloh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Orang yang beriman dan berjihad di jalan Alloh dengan harta benda dan dirimereka , adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Alloh, dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan” (At Taubah :19-20)

Kekuatan ruhul istijabah inilah yang membuat Anas bin An Nadhr r.a memberikan respon yang spontan ketika pasukan muslim terdesak oleh pasukan musyrikin di perang uhud ” Ya Saad! Surga...surga....aku mencium baunya di bukit uhud”. Kemudian beliau maju menjemput syahid hingga jenazahnya tidah dapat dikenali, kecuali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya.

Hal itu pula yang menjadikan hanzholah sebagai Sang Ghasil Al Malaikat (yang dimandikan malaikat). Beliau segera merespon panggilan jihad, meski ia dalam keadaan junub di malam pertama pernikahannya dan belum sempat mandi besar. Dan juga kita bisa melihat respon Umair Ibn Al Humam ketika akan maju perang Badar. Rosul menyemangati tentang surga ” Bangkitlah menuju surga yang luasnya langit dan bumi”. Dan seketika itu Umair segera membuang biji kurma yang sedang dikunyahnya sambil berkata ” Jika saya hidup sampai selesai memakan kurma ini, betapa lamanya menanti surga”. Lalu Umairpun maju berperang hingga gugur di medan badar

Ruhul istijabah juga muncul karena pemahaman kita tentang qodoya umat (permasalahn umat) dan mas`uliyatud dakwah (tanggung jawab sebagai dai). Dua hal ini tidak dapat diraih jika kita tidak mempunyai kepekaan yang besar (Daqiqus Syu`ur), bukan semata pengetahuan teoritis maupun pengetahuan manajerial organisasi. Orang yang tidak memahami permasalahan yang menimpa umat, sangat sulit jika kita berharap responnya untuk menghindari apalagi memberikan solusi berupa amal, tidak sebatas konsep dan teori. Jadi, dai muslim diharapkan dapat mempunyai daqiqus syu`ur yang membuatnya tersentuh dengan logika bahagia dan terluka pas (sesuai) dengan tempatnya, dan dapat menghadirkan solusi dalam setiap permasalahn, bukan menjadi qodhoya. Sifat daqiqus syu`ur dan ruhul masuliyah mengharuskan kita untuk selalu berinteraksi dengan permasalahan umat dan terus memahaminya tanpa menunggu orang lain memahamkannya untuk kita. Sifat inilah yang menjadikan kita mempunyai respon yang spontan dengan energi luar biasa, meskipun sebenarnya kita secara pribadi dalam keadaan lemah.

Ikhwah fillah, betapapun lemahnya kita, betapapun beban kehidupan dunia yang kita hadapi ini amat berat, maka janganlah membuat kepekaan kita untuk selalu mempunyai ruhul istijabah itu lenyap. Lihatlah saudara kita di Palestina, yang tidak merasa kalah dan terpuruk meskipun ribuan orang telah menjadi korban, dan negeri yang hancur porak poranda. Mereka tidak pernah berhenti untuk senantiasa berjihad, berproduktivitas, dan semangat untuk bangkit. Itu semua tidak mungkin dimiliki jika mereka tidak mempunyai keyakinan, bahwa Alloh lah yang akan menolong mereka karena mereka telah menegakan kalimat Alloh.

Marilah kita renungkan, sudahkah kita berkonsentrasi dan beramal benar-benar untuk umat? Memikirkan bagaimana cara-cara efektif untuk melakukan expansi dan perluasan dakwah? Sudahkan kita menyumbang pendapat, kreatifitas, inovasi dan pemikiran kita untuk dakwah yang lahir dari evaluasi kerja dakwah selama ini? Apakah kita gembira dan bahagia ketika kita menerima perintah, tugas dan amanah dengan semangat yang gegap gempita? Ataukah kita merasa rugi karena kita banyak berkorban, sedih karena kehilangan banyak waktu untuk aktivitas dakwah? Dan sudahkah kita mengeluarkan sebagian dari rizki kita untuk kita infakan di jalan dakwah? Untuk kemenangan dakwah ini..

Ikhwah fillah, betulkan kita adalah para aktivis dakwah? Apa buktinya? Renungkanlah dan segera terjemahkan teori yang kita punya dalam bentuk amal, jangan terlalu banyak merenung dan berkontemplasi yang berkepanjangan tanpa kesudahan. Wallohu`alam.

1 komentar:

rohainiah irianti mengatakan...

Jzk khoir mbak, bagus tulisannya

Posting Komentar

Komentar anda, inspirasiku...