Kamis, 27 Maret 2014 0 komentar By: ArtiHapsari

37 Kebiasaan Orang Tua Yang Salah

1. Raja yang Tak Pernah Salah

Raja yang tak Pernah Salah

Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.

Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.

Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.

Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.

Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis?

Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”



2. Berbohong Kecil

Berbohong pada Anak


Awalnya anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa? KArena mereka percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak beranjak besar, ia sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa yang terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau ucapan-ucapan kita lagi?

Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.

Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:

“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”

Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.

3. Banyak Mengancam

“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik, nanti Mama/Papa marah!”

Mengancam Anak


Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”

Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya. tatap matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.” Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal “Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. MAinan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati pernyataan kita dengan tindakan.

4. Bicara Tidak Tepat Sasaran

Bicara tepat sasaran


Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun kita lupa menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja yang kita inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru.

Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah di hadapan orang tua).

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Sampaikanlah hal2 atau tindakan2 yang kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih sayang atas segala usahanya untuk berubah.

5. Menekankan pada Hal-hal yang salah


Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya,

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan sayang.

6. Merendahkan Diri Sendiri



Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.

Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.

7. Papa dan Mama Tidak Kompak


Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress.



Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”

8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain


Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.



Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.

9. Menakuti Anak

Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan.



Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.

10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai



Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi.

Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.

11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak



Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”

Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.

Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.

12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik


Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”

Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya yang seperti ini.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.

13. Mudah menyerah dan pasrah



Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.

Dalam kondisi kita sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis] sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, “Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.”.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Belajarlah dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.

14. Marah Yang Berlebihan


Kita seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jangan pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.

Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.

15. Gengsi untuk Menyapa

Kita pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.

Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.

16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya

Ini biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel” atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau bahkan ketika si anak memukul teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak sengaja…”

Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau bekerja sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.

17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya

Seberapa sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.

Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Bicaralah dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.

18. Mengharap perubahan instan

Kita terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari.

Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.

19. Pendengar yang buruk

Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul kejadiannya.

Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.

Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.

20. Selalu menuruti permintaan anak.

Apakah anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti.

Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Betapapun sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja.

21. Terlalu Banyak Larangan

Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.

Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.

22. Terlalu Cepat Menyimpulkan

Ini adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.

Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.

Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.

Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.

23. Mengungkit kesalahan masa lalu

Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”

Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.

24. Suka Membandingkan

Hal yang paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]

Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?

Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.

Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Tiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”

25. Paling benar dan paling tahu segalanya

Egosentris adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau kencur, tau apa kamu soal hidup.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.

Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.

Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.

26. Saling melempar tanggung jawab

Mendidik anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.

Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.

Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.

27. Kakak harus selalu mengalah

Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?

Ada satu contoh nyata seperti berikut:

Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.

Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya.

Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.

28. Menghukum secara fisik

Dalam kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.

Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan.

Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.


29. Menunda atau membatalkan hukuman

Kita semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker, impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.

Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.

Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jila kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.

30. Terpancing Emosi

Jika ada keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar la gi.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Yang terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.

31. Menghukum Anak Saat Kita Marah

Hal yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar batas.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

  • Bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
  • Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.

32. Mengejek

Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Jika ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

33. Menyindir

Terkadang karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”, atau “Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam yang jaga pintu tiap malam?”.

Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan sejenisnya.

34. Memberi julukan yang buruk

Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.

Solusinya

Mengganti julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.

35. Mengumpan Anak yang Rewel

Pada saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”

Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat ini yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.

36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak

Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
  • Berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
  • Oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
  • Oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
  • Oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?

Apa yang seharusnya kita lakukan?

  • Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
  • Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
  • Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.

37. Mengajari Anak untuk Membalas

Sebagian anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas. Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?:

  • Mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
  • Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
  • Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
Jumat, 31 Mei 2013 0 komentar By: ArtiHapsari

DI JALAN DAKWAH AKU (INSYA ALLAH AKAN) MENIKAH


   
Belum menikah bagi seorang wanita merupakan momok tersendiri apalagi jumlah wanita sekarang berkali lipat dari jumlah pria, sedangkan pria sekarang menginginkan wanita yang berusia muda. Angka 27 bagi kebanyakan wanita single merupakan angka yang menakutkan. Tapi sebenarnya bagiku angka menakutkan itu adalah 29 tahun. Tulisanku hari ini mungkin sebagian kecil dari banyak wanita seumuranku yang belum menikah.

Tak perlu kita mendikte Tuhan, tak perlu mencerca takdir, tak perlu meragukan doa ibu ketika ruh ditiupkan ke dalam rahimnya. Alloh tidak mungkin lupa menuliskan takdir hambaNya termasuk urusan jodoh. Semua akan ada waktunya. Banyak yang mengatakan bahwa aku terlalu memilih jodoh, aku akui. Karena bagi semua wanita di dunia, menikah itu hanya satu kali dan tidak mau menikah seperti membeli kucing dalam karung. Lelaki itu akan menjadi iman duni dan akherat, lelaki itu akan mengambil hak orang tua dalam pengurusan kita, maka wajarlah jika kita memahami pernikahan sebagai sesuatu yang perlu dipikirkan dengan matang. Tapi alasanku banyak memilih karena alasan klise seorang yang tertarbiyah, bahwa sudut pandang seorang kader berbeda dengan orang tua.

Menilik banyak teman dan adek seperjuangan yang sudah mendahului menikah, bagiku bukan hal yang membuatku iri. Aku berbahagia, karena pilihan untuk belum mau menikah adalah pilihan hidup yang pasti akan ada konsekuensinya. Aku cuman ingin menceritakan beberapa kisah teman dan adek adekku yang lebih dahulu menemukan jodohnya. Ada yang bilang bahwa kita harus banyak kenalan supaya banyak lelaki yang kenal dan suka. Lucunya, ada teman kuliah yang bahkan jika aku sebutkan namanya, hampir semua teman lupa atau melupakan. Dia wanita yang amat pendiam, jarang bicara, dan jarang bergaul. Aku mengenalnya karena dia salah satu teman mentoringku dulu, jadi sering berinteraksi lebih. Ternyata kudengar sekarang dia sudah punya dua anak. Sesuatu yang mnecengangkan buat kami yang mendengarnya. Adapula teman kuliah yang terkenal sangat keibuan, sangat dewasa, seorang yang tinggi intelektualnya, sampai sekarang belum menikah. Bukan karena belum ada yang mau, karena memang belum ketemu jodohnya. Jadi, faktor keluwesan pergaulan, bukanlah syarat mutlak antrian pertama ketemu jodohnya.

Ada juga yang mengatakan bahwa menikah itu harus diupayakan, dicari, dijemput, dan ikhtiar sebanyak banyaknya. Itu mutlak benar. Tapi bukan berarti bahwa ketika kita belum mendapatkan jodoh sampai sekarang, kita justru disangka tidak berusaha. Ada beberapa kisah teman yang sebenarnya menikah itu seperti mimpi, belum terbayangkan, mungkin karena situasi dan kondisinya mendukung, maka prosesnya cepat dan mudah. Teman kerjaku bisa menjadi cerita. Sebenarnya, temanku yang pria sudah punya kekasih, begitu juga dengan rekan kerjaku yang perempuan, Mereka berdua sudah punya kekasih satu sama lain, tapi kemudian terpincut cinta lokasi. Akhirnya dalam masa kegalauan mereka, perusahaan akan mengeluarkan SK tentang pelarangan menikah sesama karyawan sebelum bulan mei. Mau tidak mau meraka secepatnya melakukan aksi. Memutuskan pacar mereka masing masing dan segera menikah. Yang mendengar ceritanya saja terkaget kaget. Yah..itulah jodoh. Adek kelasku yang lain juga begitu. Dia bercita cita menjadi dosen di semarang, dan alhamdulillah dia mendapat beasiswa di Bandung. Baru satu bulan, ternyata dia mendapat proposal menikah. Maju mundur dibuatnya. Tapi ternyata kemudahan begitu saja datang dan hanya butuh total 4 bulan sampai dia menikah. Kaget...ia pastinya. Saya yang menyertainya saja merasa bahwa proses itu cepat sekali padahal cita citanya adalah kembali ke Semarang secepatnya. Tapi takdir mengatakan lain. Itulah takdir. Tak bisa ditebak kapan datangnya.

Jadi, biarlah yang lain dengan kisahnya. Aku dengan kisahku sendiri. Alloh Maha Tau yang terbaik untuk hambaNya. Dan memang Alloh sudah memberikan kisah tersendiri kepadaku bahwa aku harus mengurus papa dan mama di rumah. Alloh menuliskan bahwa di kala mama sakit, dan papa butuh support lebih, Alloh menuliskan takdirnya bahwa aku harus fokus berbakti kepada mereka. Itu indahnya.

Aku tak punya banyak kriteria dalam memilih pasangan. Hanya saja, bagiku menikah itu bukan hanya mempersatukan dua pribadi, dua keluarga, dua karakter yang berbeda...tapi juga menyatukan satu visi misi dalam makna pernikahan yang jauh lebih panjang yaitu menjadi keluarga di syurga. Visi menikahku sama dengan pasangan pada umunya seperti menjadi keuarga yang sakinah mawadah warohmah,  hanya saja ada yang ditambah yaitu menjadikan keluarga sebagai pondasi kekuatan umat, tentunya menjadi kelurga dakwah....... Untuk saya, pernikahan itu adalah menyatukan 2 potensi dalam kerangka memberikan kebaikan yang lebih besar untuk da’wah dan umat. Menikah tidak akan mematikan potensi, namun justru menjadikannya  lebih terasah dan bersinar.

Menikah itu berat karena dia adalah ’ separuh dien’  kita, namun besar harapan agar dalam menyempurnakan dien tersebut ada usaha dan kerjasama suami dan istri untuk bersama-sama memperoleh kesempurnaan tersebut, tentunya dengan jalan da’wah. Bukan hanya sekedar sholeh untuk dirinya, tapi sholeh sebagai pengayom umat.

Tidak perlu pacaran, tidak perlu banyak penyesuaian karakter. Saya yakin Alloh akan menghadirkannya di saat yang tepat dan yang pasti direstui orang tua. Jika orang tua tidak setuju, ya pasti ada yang lain yang Alloh hadirkan dan direstui. Jika banyak yang mengatakan bahwa jodoh harus diperjuangkan walau tidak direstui orang tua, tapi tidak bagiku. Menikah bagiku adalah menggantikan posisi orang tua sebagai wali kita, jadi jodoh yang terbaik adalah yang orang tua ridho, karena ada doa doa yang melantun di sana. Biarlah penantian ini menjadi bagian indah dalam hidupku..karena aku amat yakin janji Nya takkan pernah meleset..bahwa semua akan indah pada waktuNya...

Senin, 08 April 2013 0 komentar By: ArtiHapsari

Hidup yang Menghidupkan

   
Sering sekali kita berharap apa yang terjadi pada diri kita sekarang adalah pilihan kita. tapi terkadang juga banyak hal yang hadir dalam hidup kita di luar batas logika kita sebagai manusia. Karena memang sebagai manusia kita hanya menjalankan apa yang dinamakan skenario hidup dari Sang Pemilik Hidup. Sehingga menyikapi berbagai hal tersebut, kita hanya diberikan ruang untuk cukup sekedar ihsan prasangka terhadap ketentuan Alloh, karena tak ada sesuatupun yang hadir dalam hidup kita yang tanpa seizinNya.

Maka langkah pertama adalah berbaik sangka terlebih dahulu, tetap tersenyum dan tetap tegar.
Langkah selanjutnya adalah mengolah, mengotak atik, menganalisa dan bersegera merespon kejadian tersebut. Bukan reaktif, ataupun apatis. hal ini dapat mengasah kedewasaan kita sebagai manusia. karena ketegaran seseorang dapat dilihat para respon pertamanya menghadapi setiap kejadian. Jika kita berbaik sangka, maka kemudian yang hadir selanjutnya adalah seikap wise dan bijak.

Manusia hanya dapat merencanakan, menulis dan meraba masa depan, tapi sungguh dalam setiap langkah demi langkah kehidupannya, manusia akan menemui banyak pilihan yang seringkali membuat ragu perjalanan. Terkadang ingin mundur, memutar arah, ataupun diam. Semuanya adalah pilihan. Tapi bagi seorang mukmin, dia selalu berusaha mendekatkan pilihan hidupnya dengan pilihan pilihan Alloh, berusaha sedekat mungkin berharap Alloh ridho terhadap pilihan hidupnya.

Bagi seorang mukmin, tak ada sandaran dalam hidupnya selain Alloh. karena dia amat memahami bahwa kelak di yaumil qiyamah akan dibangkitkan sendiri mempertanggungjawabkan pilihan pilihan hidupnya sendiri, maka seorang mukmin takkan pernah takut sendirian dalam melangkah menjalani hidup, karena yakin hanya Allohlah satu satunya penolong di dunia dan di akherat. Baginya tak ada tangis pilu atau histeria ketika ujian melanda, tak ada keterbahakan atau euforia ketika kebahagiaan hadir, karena seorang mukmin sangat proporsiaonal memaknai hidup hanya sebatas roda yang dipergulirkan.

Tawa pasti ada batasnya, tangis juga pasti ada batasnya. Setiap pertemuan pastilah akan ada akhirnya, karena memang hidup pada dasarnya berjalan menuju ujung kehidupan. Maka tiap jeda iklan dalam hidup hanyalah sebuah fatamorgana yang takkan mempengaruhi visi kehidupan manusia paripurna, Dia selalu tenang dalam menyikapi tiap fase hidup yang mungkin tak selamanya senang, dan tak semuanya sedih.

Ya..itulah hidup dan kehidupan, yang memerlukan kejelian mata hati untuk mengarahkan perjalanannya. Semoga kita termasuk manusia manusia yang selalu diberikan keluasaan jiwa memaknai setiap kehendak Sang Kuasa dengan pilihan higup yang menghidupkan jiwa..
Kamis, 21 Februari 2013 0 komentar By: ArtiHapsari

Buruh : Habis Manis Sepah Dibuang


Masalah ketenagakerjaan masih menjadi masalah pelik di negeri ini. Baik tenaga kerja formal maupun informal belumlah mendapatkan perlindungan secara baik. Dari permasalahan perjanjian kerja, penghasilan, cuti, sampai  jaminan sosial tenaga kerja. Kebutuhan hidup serta situasi perekonomian Indonesia yang kurang mendukung menjadi alasan utama masyarakat kita mau bekerja kerja tanpa ada perjanjian di depan,dan akhirnya menyebabkan para pelaku usaha meremehkan hak hak tenaga kerja.
Pengusaha tidak pernah takut kehilangan tenaga kerja terutama di sektor buruh karena peluang mendapatkan tenaga kerja sangatlah luas, dan masih besarnya pengangguran. Pada Februari 2012 jumlah angkatan kerja berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu pengangguran terbuka mencapai 7,61 juta orang atau 6,32 persen (Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Firdaus Badrun). Hal ini amatlah mengenaskan jika tenaga kerja kita hanya dihargai murah seperti sapi perah. Tenaga kerja kita mau bekerja keras dengan segala resiko yang dihadapi meskipun tanpa jaminan dan hak kesehatan.
Hal inilah yang dialami oleh ibu saya, Maryati, kelahiran 27 Juli 1956. Penghargaan perusahaan kepadanya sebagai keryawan ternyata tidak sebanding dengan integritas dan loyalitasnya. Ibu saya memandang pekerjaan yang digelutinya setelah lebih dari 14 tahun di perusahaaan yang bergerak di bidang advertising adalah bentuk loyalnya kepada perusahaan yang telah mempercayainya, tanpa menyadari bahwa ada hak hak yang belum terpenuhi selama ini. Pengahasilan yang sampai akhir hayatnya tidak lebih dari 1,3 juta untuk pekerjaan selama 6 hari seminggu ternyata dirasa cukup karena suasana nyaman di perusahaan membuatnya terikat secara hati. Di saat perusahaan tersebut terkena dampak krisis moneter 1998, ibu saya juga termasuk karyawan yang berusaha tetap memperjuangkan nafas perusahaan dengan menjual sembako ke rumah rumah. Tapi ternyata kewajiban perusahaan untuk melakukan amanah perundangan terkait pelayanan kesehatan tidak pernah dilakukan. Karyawan tidak diikutkan jamsostek padahal perusahaan tersebut bergerak di bidang industri dengan tingkat paparan resiko besar dari bahan kimia (cat, sablon, dan sebagainya).
Pada bulan mei 2012, ibu kami divonis gagal ginjal kronis dan harus melakukan cuci darah. Yang paling membingungkan adalah pihak kantor ibu belum memberi bantuan kesehatan padahal penyakit tersebut membutuhkan biaya yang banyak. Tidak ada asuransi kesehatan atau jamsostek. Kami juga tidak terdaftar di jamkesmas, dan tidak pula dapat mengurus jamkesda karena cuci darah belum dikelola oleh daerah Kabupaten Tegal. Miris rasanya, ketika ibu kami seorang karyawan yang mempunyai loyalitas tinggi kepada perusahaan ternyata bernasib memprihatinkan. Habis Manis Sepah Dibuang.
Undang undang ketenagakerjaan hanya sebuah lembaran kertas tanpa nyali, karena di negeri ini masih banyak perusahaan yang “mbalelo” tidak mentaati perundangan tersebut. Dalam UU Nomer 13 tahun 2003 pasal 1999 dijelaskan bahwa setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
Kepada siapa kami mengadu? Akan berapa banyak lagi Maryati Maryati lain yang akan bernasib sama tanpa ada kepastian jaminan kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja dan kematian? Apakah nyawa seorang tenaga kerja tidak lebih berharga dari seekor sapi perah?
Rabu, 19 Desember 2012 0 komentar By: ArtiHapsari

Mendung di Ujung Senja

   


Wajahnya semakin sayu, kelopak matanya semakin turun, tak ada lagi pelangi di bola matanya. Tak bisa ditutupi, lelaki itu semakin kurus dan kehilangan banyak energi dalam hidupnya, bukan karena ia lemah, tapi karena ia berat menanggung sedih di ujung senjanya. Bola matanya tak lagi menari bercerita keindahan, wajahnya tak jarang terbasahi air mata yang bercampur dengan air wudhu. Ia tak tega manakala melihat keadaan istrinya yang semakin lemah terbaring dan sering mendapat bekas tusukan jarum . Lamunan tanpa tenaga setiap hari menghiasi kesendiriannya merawat istrinya yang telah menemaninya dalam suka dan duka selama lebih dari 32 tahun ini. Seperti tak siap menanggung sedih yang tak terbayangkan di ujung senjanya, ia semakin ringkih dalam asa. Kebahagiaannya sekarang adalah manakala Tuhan memberi keajaiban menghadiahkan kesembuhan bagi istrinya.

Lelaki itu adalah papaku

Setiap hari papaku merawat mama. Di awal mama sakit, papa masih sering mengeluh lelah bahkan mengatakan jenuh dan stress. Namun akhir akhir ini, rasa itu tak pernah kudapati lagi, justru rasa iba yang semakin dalam melihat kesehatan mama yang tak semakin baik. Mungkin itu juga yang menyebabkan papa ingin ikut merasakan kurus seperti mama, makanan yang masuk ke dalam tubuhnya sepertinya tak bisa menjadi daging. Rasa sama yang dirasakan mama. Bahkan tak jarang nafsu makan papa hilang manakala melihat mama yang semakin lemah. Makanan enak tak lagi menjadi kesukaannya karena papa tak mungkin bisa merasakan enaknya makanan padahal di sisinya ada mama yang tak bisa melahapnya. Papa selalu ada setiap saat bersama mama, karena anaknya jauh di perantauan. Tiap kali mama merengek minta sesuatu, papa selalu ada bersamanya, meskipun lelah semakin menggelayuti badan, namun papa sangat ikhlas menghampiri dan memenuhi keinginan mama. Memasak, mengambilkan makan, mengambilkan minum, obat, memandikan, menemani mama berobat, memijat mama, selalu papa lakukan setiap hari tanpa henti. Tak jarang pula papa begadang menemani mama yang juga tak bisa tidur. Luar biasa kesetiaan papa. Dan tentu saja pengorbanan di usia tuanya.

Di usia senjanya, papa dan mama ingin sekali merasakan berbahagia melihat anak anaknya berhasil meraih cita dan membahagiakan mereka. Namun takdir mengatakan lain, ternyata perjuangan papa mama belum berakhir setelah berhasil mengantarkan ketiga anaknya menuju gerbang kemapanan hidup. Dalam letih dunia yang tersirat di kedua wajah mereka, ternyata Alloh masih memberikan amanah dan ujian kepada orang tua kami. Kesetiaan cinta. Mungkin Alloh ingin memberikan hadiah lain setelah Alloh mengabulkan asa tercapainya cita cita mereka mengentaskan ketiga anaknya menjadi manusia yang sholah dan sholehah. Hadiah yang aku pun tak tau kapan akan tiba.

Tak terasa sudah 7 bulan kami menghadapi ujian ini. Bukan tanpa terasa sedih dan beratnya, tapi ternyata waktulah yang begitu cepat menghapus kejadian kemarin dan menghadiahkan kejadian kejadian lain di hari esoknya. Sampai hari ini tak secuilpun harap dan konsistensi kami berharap Alloh memberi jalan keluar kesembuhan pada ibu kami. Setiap hari selalu memonitor keluhan keluhan ibu kami dengan tak sedikit dipenuhi ketegangan manakala sesekali keadaan ibu memburuk. Tapi yang luar biasa, semangat sembuh ibu selalu membangkitkan semangat dan juang kami, dan tak setetespun air mata keluar dari bola matanya. Sholat dan dzikir selalu terlantun dalam lisannya, meskipun tak jarang ia lemah dan menyadari bahwa tubuhnya semakin kurus dan ringkih. Ibu tak pernah meninggalkan sholat meskipun dalam keadan anfal sekalipun. Meskipun harus mengqodo sholat 5 waktu. Semoga Alloh mencatat keimanan ibu kami dan mengangkat derajat beliau.

Kami menyadari bahwa support kami sangat membantu menyemangati orang tua dalam menghadapi ujian ini. Kehadiran fisik, telpon, dan doa sangat membantu meringankan beban keduanya. Kami pun sebenarnya bukan tanpa tangis menghadapi ujian ini, tapi kami sadar bahwa yang dibutuhkan untuk menghadapi ujian ini adalah dengan menghadapinya. Meskipin tak jarang air mata keluar, tapi air mata itu cukuplah disaksikan oleh sajadah sajadah kami, di hadapan mereka, meskipun getir selalu menyergap, tapi senyum dan semangat selalu kami perlihatkan meskipun pilu di dada.

Kami hanya berharap dan berdoa setiap saat, semoga amal amal yang kami lakukan dapat menjadi amal sholeh bagi mereka; sholat, dzikir dan doa kami dapat memuliakan mereka; sedekah dan kesholehan kami dapat membuka jalan keluar pertolongan Alloh. Ya Alloh muliakanlah mereka dalam ujian ini, berikanlah hikmah dalam setiap ujian yang menghampiri kami, jadikanlah kami hambaMu yang senantiasa bersyukur dalam setiap episode yang Kau hampirkan kepada kami, Berikanlah kami rezeki yang melimpah agar kami dapat memberi pengobatan yang terbaik bagi kesembuhan ibu kami dan berikanlah jalan keluar bagi kesembuhan ibu kami, panjangkanlah umurnya, sampaikanlah hajatnya untuk bertamu ke rumahMu, bahagiakanlah mereka selalu melebihi kasih sayang mereka kepada kami selama ini dan hapuskanlah mendung di ujung senjanya. Amin