Kamis, 20 Oktober 2011 By: ArtiHapsari

Sampah Kota Bandung atau Bandung Kota sampah

Jika kita menyebut kota Bandung, pasti identik dengan kota kembang, kota yang asri dan sejuk. Kota bandung adalah kota impian yang selalu ramai oleh mobil plat B di akhir pekan, karena orang orang dari Jakarta menganggap Bandung adalah Paris Van java, tempat berliburnya orang orang Jakarta.

Bisa dibilang mall di Bandung tidak pernah sepi. Objek wisata seperti lembang, kawah putih atau outlet sepanjang jalan Riau tidak pernah sepi pengunjung. Apalagi ditambah objek wisata permainan indoor terbesar di dunia yang terletak di tengah kota Bandung. Tak ayal lagi, Bandung berubah menjadi kota megapolitan di akhir pekan. Orang orang asli Bandung justru berpikir panjang jika ingin berjalan jalan di akhir pekan karena padatnya jalan dan lalu lintas, alias macet.

Dan disadari, permasalah lain muncul di tengah perkembangan kota yang katanya terkenal asri, yang katanya tempat banyak orang intelek dilahirkan karena di sana terdapat institut yang melahirkan orang orang besar Indonesia. Apalagi jika bukan masalah sampah.

Dari awal berita longsornya TPA Leuwi Gajah tahun 2006, saya sudah berpikir bahwa Bandung bukanlah kota yang asri seperti yang dibicarakan banyak orang. Saya yang menekuni bidang persampahan, sangat prihatin dengan keadaan ini, mengingat banyaknya doktor dan profesor dari Bandung yang lahir karena menggeluti sampah. Buku "persampahan kota" yang saya pelajari adalah tulisan dari profesor ahli persampahan dari institut terkenal di Bandung. Miris sekali mendengarnya, bahwa kontribusi para profesor itu masih sebatas tulisan dan retorika. Lihat dan ciumlah bau tak sedap di tikungan Jl Taman Sari dekat Kebun Binatang.Hmmmmm....

Setelah Leuwi Gajah longsor, TPA sampah dialihkan ke Sarimukti yang terletak di kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat dengan alasan darurat. Alasan tersebut terbilang sangatlah politis. Karena pihak pemerintah Jawa Barat tidak tahu lagi bagaimana membuang sampah dan permasalahannya kemana?.
Tanah yang dipergunakan adalah tanah Perhutani yang dimanfaatkan untuk tempat penampungan sampah dan pembuatan kompos adalah dari tahun 2006 sampai 2018. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan, lokasi tersebut bukan untuk tempat pembuangan akhir sampah, melainkan untuk pengolahan kompos. Tapi nyatanya apa?

Sarimukti yang pada awalnya diplot sebagai TPK (tempat pembuatan kompos) temyata hanya dilengkapi dua mesin pencacah dan dua mesin pengayak dan hanya bisa mengolah 25 meter kubik sampah. Padahal, sampah yang datang setiap hari mencapai 1.500 meter kubik dengan armada truk sebanyak 150-200 buah per hari. TPA ini menghasilkan air lindi sampah yang dapat masuk ke badan air tanah dan air permukaan yang mengalir ke sungai Cimeta dan bermuara ke sungai citarum, sehingga berbahaya bagi organisme yang hidup di air dan mengancam kehidupan ribuan ton ikan di Waduk Cirata.

Pada awal pembukaan TPA Sarimukti tahun 2007, kadar bakteri E coli di Sungai Cimeta, anak Sungai Citarum, mencapai 2,4 juta sel per 100 mililiter , padahal, baku mutu E coli hanya 2.000 sel per 100 ml. Hal tersebut terjadi karena di awal pembukaan TPA tidak dibangunnya IPAL ataupun lapisan geotekstile di Sarimukti. Meskipun sekarang cenderung turun, tapi tetap di atas baku mutu.

Seharusnya, sesuai kontrak pemakaiannya, TPA Sarimukti digunakan sampai tahun 2011, tapi ternyata diperpanjang karena TPS yang baru yang merupakan TPS berteknologi untuk PLTS belum dapat diioperasikan. Etah mengapa?

Belum lagi masalah TPA yang melum beres, masyarakat di wilayah Bandung (Bandung,Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat) yang cenderung konsumtif seakan akan tidak peduli dengan masalah sampah Bandung. Lihat saja setelah musim kemarau yang berkepanjangan, lalu turunlah hujan yang terbilang ekstrem, maka jalanan di hampir seluruh Bandung....Banjir!

Banjir ini terjadi karena tumpukan sampah yang menutupi drainase. Miris!. Orang seenaknya sendiri membuang sampah di jalan, di selokan, tanpa memikirkan akibat yang terjadi. Lihatlah dan ciumlah apa yang terjadi jika truk pengangkut sampah melewati jalan, bahkan setelah 200 m truk sampah itu pergi bau sampah masih tercium. Masya Alloh...

Dari cerita saya di atas yang sedikit emosional, saya ingin menggugah kesadaran semua masyarakat terutama masyarakat Bandung untuk melakukan minimize limbah, peka terhadap lingkungan, karena penyakit seperti muntaber dan lain sebagainya mungkin terjadi karena andil kita yang tak adil pada alam. Penerapan pengelolaan sampah skala rumah tangga juga sebenarnya dapat dilakukan dengan pengomposan ala takakura (skala rumah tangga) dan dapat mengurangi beban TPA

Kepada seluruh elemen masyarakat, pemerintah, mari kita menjaga kebersihan terutama dari hal yang bernama sampah, karena sampah bukan masalah sepele yang bisa terus kita abaikan. Lingkungan pun ingin diperhatikan. Alam ingin lepas dari jerat-jerat sampah. Jangan sampai Bandung ini benar-benar menjadi kota sampah. Yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran masyarakat mengenai masalah sampah.

Wallohu a`lam Bishowab


1 komentar:

salikun mengatakan...

menurut saya ya pencegahan untuk tidak sampek jadi kota sampah,caranya sampah diatasi,hanya saja caranya mungkin belum menemukan atau cara lama yg.sudah banyak dipakek tidak mendapoatkan hasil dipakek lagi ya jelas tidak berhasil juga,untuk itu komentar saya (buka)teknologi pemusnah sampah,dari sampah yg.berjumlah kecil hingga yg.berjumlah besar/banyak,pasti teratasi,tanpa bahan bakar apapun cara ini mampu dan dapat memusnahkan sampah-2 yg.sama skali tidak bermanfaat,yang kondisinya basah busuk berbau,cara ini sangat muuuudah skali dan PASTI BERHASIL.Salam dari Mojokerto.

Posting Komentar

Komentar anda, inspirasiku...